Ticker

6/recent/ticker-posts

ORIENTASI BAGI SATGAS KHUSUS PENANGANAN DAN PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA KHUSUS (SATGASSUS P3TPK) LAKSANAKAN (FGD)





KABARPOSNEWS.CO.ID JAKARTA- Hari ini, Kamis 12 November 2020, Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus melaksanakan kegiatan orientasi bagi calon anggota Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Khusus (Satgassus P3TPK) Tahun 2020 yang diselenggarakan secara vitual ke seluruh Indonesia ;
Orientasi yang diisi dengan Focus group Discution (FGD) Bidang Tindak Pidana Khusus dilaksanakan dengan mengambil teman “ Optimalisasi Penindakan Delik Kolusi dan Nepotisme Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi ”     diselenggarakan untuk memberikan pembekalan bagi calon anggota Satgassus P3TPK yang akan dilantik besok hari Jumat tanggal 13 November 2020 di Aula Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus oleh Jaksa Agung RI. ;
Hadir dalam kegiatan tersebut, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono, SH.MH., Sekretaris JAM Pidsus Raja Nafrizal, SH. MH., Staf Ahli Jaksa Agung RI. Bidang Tindak Pidana Khusus Dr. Sudung Situmorang, SH. MH., Para  Direktur pada JAM Pidsus serta seluruh calon anggota P3TPK di Aula Sasana Pradata Kejaksaan Agung RI. Jakarta Selatan. 
Sementara dari daerah hadir para Kepala Kejaksaan Tinggi dan para Kepala Kejaksaan Negeri beserta jajaran Bidang Tindak Pidana Khusus dari masing-masing kantor di seluruh wilayah Indonesia ;
Dalam sambutannya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono, SH.MH. menyampaikan bahwa Optimalisasi atau pengoptimalan adalah suatu proses atau cara untuk menjadikan “sesuatu” menjadi paling baik atau paling tinggi. “Sesuatu” itu sebagai objek, adalah penindakan delik kolusi dan nepotisme, sedangkan “sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi” adalah menunjukkan alat atau instrumen mencapai tujuan yaitu suatu situasi dan kondisi yang memungkinkan tindak pidana korupsi tercegah atau menjadi tidak terjadi. 

Sebelum dibahas lebih mendalam tema di atas, perlu dijelaskan bahwa secara historis menjelang tahun 1998, gelombang unjuk rasa menuntut reformasi di berbagai aspek kehidupan nasional, 3 yang dipicu adanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pada masa pemerintahan Orde Baru yang sedemikian masif, sehingga muncul stigma negatif masyarakat terhadap dinasti yang berkuasa pada saat itu dengan sebutan “kroni keluarga penguasa” yang dikaitkan dengan praktek KKN dalam penyelenggaraan Negara. 

Gelombang unjuk rasa tersebut menyadarkan kepada kita semua bahwa persoalan bangsa pada saat itu bukan hanya masalah korupsi tetapi juga kolusi dan nepotisme. Akan tetapi, perangkat hukum yang ada pada saat itu hanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga aparat penegak hukum hanya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi sedangkan terhadap perbuatan kolusi dan nepotisme belum dapat dilakukan penegakan hukum. 

Kondisi tersebut direspon oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan menerbitkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tanggal 13 November 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 
Selanjutnya Pemerintah dalam rangka melaksanakan ketetapan MPR tersebut, menerbitkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Selain itu, lahir pula Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Selanjutnya berdasarkan Pasal 2 Angka 7 Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, yang menyatakan perlu segera membentuk undang-undang guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan kolusi dan/atau nepotisme yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi. 

Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/2001 tersebut, menyiratkan bahwa perlu dilakukan penindakan terhadap perbuatan kolusi dan nepotisme sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi. Namun pada kenyataannya, meskipun telah lahir Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, pada kenyataanya penegakan hukum terhadap perbuatan kolusi dan nepotisme tidak pernah dilaksanakan oleh Aparat Penegak Hukum baik oleh Kejaksaan maupun Kepolisian. 
Hal tersebut mengindikasikan adanya 5 kekeliruan dalam pengelolaan politik penegakan hukum nasional, yang tidak berubah pada masa orde baru sampai dengan pasca reformasi saat ini. Pada hal perbuatan kolusi dan nepotisme pasca reformasi cenderung lebih masif daripada sebelum reformasi. Jika kondisi tersebut berlangsung terus menerus bukan tidak mungkin akan memicu penggulangan terjadinya reformasi gelombang kedua. 
Disamping adanya kekeliruan dalam politik penegakan hukum sebagaimana terurai di atas, juga terdapat keragu-raguan di antara para penegak hukum sendiri yang memandang apakah perbuatan kolusi dan nepotisme sebagai delik atau bukan karena sebagian mengatakan bahwa perbuatan kolusi dan nepotisme bukanlah tindak pidana yang berdiri sendiri namun merupakan bagian dari tindak pidana korupsi.  

Untuk menjelaskan masalah ini, perlu dicermati materi yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang mengatur tentang kolusi dan nepotisme sebagai berikut : 
Pasal 1 angka 4 menyatakan Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara. 

Pasal 1 angka 5 menyatakan Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. 
Pasal 5 angka 4 menyatakan setiap penyelenggara negara berkewajiban tidak melakukan perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. 

Pasal 21 menyatakan Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan kolusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu 7 miliar rupiah). 

Pasal 22 menyatakan Setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 4 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 

Dari ketentuan tersebut di atas perbuatan kolusi dan nepotisme masing-masing mengandung unsur delik yaitu subjek hukum, perbuatan pidana (Pasal 1 Angka 4 dan Angka 5), ada larangannya (Pasal 5 Angka 4), dan ada sanksi pidananya (Pasal 21 dan 22). Dengan demikian perbuatan kolusi dan nepotisme adalah merupakan delik yang berdiri sendiri, dan bukan merupakan bagian dari delik korupsi. 
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa belum optimalnya penindakan terhadap delik kolusi dan nepotisme bukanlah disebabkan karena politik hukumnya akan tetapi lebih kepada politik penegakan hukumnya. 

Meskipun secara politik hukum relatif tidak ada kesalahan, akan tetapi apakah secara materiil delik kolusi dan nepotisme dapat diposisikan sebagai sarana untuk mencegah tindak pidana korupsi sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001
Pasal 1 Angka 4 menyatakan kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara, sedangkan Pasal 1 Angka 5 menyatakan nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Berdasarkan pengalaman melakukan penindakan terhadap perbuatan korupsi banyak perbuatan-perbuatan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 Angka 4 dan Pasal 1 Angka 5 dilakukan oleh para terdakwa tindak pidana korupsi, sehingga dapat dikatakan bahwa perbuatan kolusi dan nepotisme merupakan perbuatan-perbuatan yang mendahului dari perbuatan korupsi, sehingga secara teoritis penindakan terhadap perbuatan kolusi dan nepotisme secara tidak langsung dapat mencegah terjadinya tindak pidana korupsi karena penindakan terhadap perbuatan kolusi dan nepotisme tidak perlu menunggu adanya kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi. 

Namun dalam prakteknya tidak serta merta penindakan terhadap perbuatan kolusi dan nepotisme dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan terhadap tindak pidana korupsi, karena : 
Adanya tumpang tindih unsur delik yang diatur di dalam Pasal 1 Angka 4 UU Nomor 28 Tahun 1999 dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001, yaitu Pasal 1 Angka 4 UU Nomor 28 Tahun 1999 terdapat unsur 10 delik “kerugian negara,” sedangkan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 terdapat unsur “kerugian keuangan negara” dan unsur ”kerugian perekonomian negara.” 
Adanya pembatasan subjek hukum di dalam perbuatan kolusi dan nepotisme sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 28 Tahun 1999 sehingga tidak dapat menjangkau Aparatur Sipil Negara selain Pejabat Eselon I, baik di Kabupaten, Kota, Provinsi maupun di Pusat. 

Adanya ketidakjelasan subjek hukum selain penyelenggara negara yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana antara yang dirumuskan di Pasal 1 Angka 4 UU Nomor 28 Tahun 1999 yakni adanya subjek hukum “pihak lain” sementara di dalam Penjelasaan Umum Angka 2 dan Angka 3 membatasi hanya berlaku untuk penyelenggara negara. 

Tidak ada pembatasan definisi siapa yang disebut “kroni dan keluarga” dalam Pasal 1 Angka 5 UU Nomor 28 Tahun 1999. 
Tidak ada penjelasan secara rinci terkait unsur “ di atas kepentingan Masyarakat, Bangsa dan Negara ” dalam Pasal 1 Angka 5 UU Nomor 28 Tahun 1999. 

Kondisi masalah substansi hukum di atas juga ditambah dengan masalah struktur hukum yang tidak komprehensif dalam menghadapi masalah korupsi, yaitu dalam kebijakan pemerintah selalu mendikotomikan masalah korupsi antara pencegahan dan penindakan tanpa memperhatikan TAP MPR No. XI/MPR/1998 dan TAP MPR No. VIII/MPR/2001 sehingga tidak menyentuh penindakan terhadap perbuatan kolusi dan nepotisme. 
Selain itu, dalam praktek penindakan perbuatan nepotisme pernah dilakukan oleh Kejaksaan Tinggi Bengkulu dalam perkara a.n. H. Murman Efendi bin Ismail (mantan Bupati Seluma) pada tahun 2016 yang telah di putus oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Bengkulu Putusan Nomor 61/Pid.SusTPK/2016/PN.BGL jo. Pengadilan Tinggi Bengkulu Putusan Nomor : 7/Pid.Sus-TPK/2017/PT.BGL, tebukti melakukan tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme sebagaimana dalam dakwaan kedua Pasal 1 Angka 5 jo. Pasal 5 Angka 4 jo. Pasal 22 UU No. 28 Tahun 1999, akan tetapi dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Agung Nomor : 2291K/PIDSUS/2017, dan dipandang sebagai perbuatan korupsi. Putusan Mahkamah Agung tersebut mencerminkan masih adanya masalah kultur hukum di dalam menerapkan delik kolusi dan nepotisme. 

“ Para Peserta FGD Bidang Pidsus, yang saya banggakan Itulah kira-kira beberapa problematika terkait penindakan tindak pidana kolusi dan nepotisme untuk dibahas dan didiskusikan dalam kesempatan FGD ini.” ujar Ali Mukartono, SH. MH. menyimpulkan sambutannya “ dan apabila problematika tersebut dapat diatasi maka penindakan tindak pidana kolusi dan tindak pidana nepotisme dapat dilakukan secara efektif, sekaligus pula telah dilakukan pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi,” tambahnya .
Perlu juga diingatkan bahwa apabila kita hanya fokus pada pemberantasan tindak pidana korupsi, maka sesungguhnya kita kalah 3 (tiga) langkah dengan para koruptor, karena : 
Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi harus membuktikan unsur kerugian keuangan negara. 

Dalam pemberantasan tindak pidana korupsi belum tentu dapat memulihkan kerugian keuangan negara yang terjadi. 
Hak-hak sosial dan ekonomi tidak dapat dipenuhi secara maksimal karena pembangunan terhambat sebagai akibat tindak pidana korupsi. 

Mengakhiri sambutannya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus mengucapkan terima kasih kepada seluruh narasumber yang akan memberikan wawasan terkait penindakan tindak pidana kolusi dan tindak pidana nepotisme, semoga pencerahannya dapat menginspirasi dan memotivasi peserta FGD untuk berlaku kreatif membuat terobosan-terobosan baru sebagai upaya penyelesaian problematika yang dihadapi dalam penindakan tindak pidana kolusi dan nepotisme.
Selain itu, beliau juga berharap agar segenap peserta FGD untuk berdiskusi dan membahas dengan mencurahkan segenap daya pikir dan kreavitas yang ada, sehingga dalam FGD ini dapat terlahir rumusan rekomendasi yang aplikatif dan dapat diterapkan dalam praktik penegakan hukum khususnya penindakan tindak pidana kolusi dan nepotisme. 

Setelah orientasi bagi calon anggota P3TPK dibuka, acara dilanjutkan FGD dengan tema “Optimalisasi Penindakan Delik Kolusi dan Nepotisme Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi ” dengan Nara Sumber yang hadir ditempat acara maupun yang hadir secara virtual yaitu sebagai berikut : 
Dr. Ramelan, SH. MH. (Mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus)
Prof. Dr. Romly Atmasasmita, SH. LLM (Guru Besar Univesitas Padjajaran)
Prof. Andi hamzah, SH. MH. (Guru Besar Univesitas Trisaksi / Mantan Jaksa / Widyaiswara Luar Biasa Badiklat Kejaksaan RI) 
Prof. Dr. Topo Santoso, SH. MH, (Guru Besar Univesitas Indonesia)
Dr. Sugeng purnomo, SH. MH. (Deputi Menko Polhukam Bidang Hukum dan Hak Azasi Manusia)
 
KEPALA PUSAT PENERANGAN HUKUM HARI SETIYONO, S.H., M.H.
EDITOR : REDAKSI

Dilihat